Dua Puluh Tahun Memimpikan Darul Iman
Ust Hamzah Zaini (berpeci) bersama puteranya Muh Iqbal, di Darul Iman
Pertama kali
mengenal Darul Iman tahun 1992 melalui lembaran koran. Kala itu ia masih
bujangan dan sedang mondok di Sulawesi. Selama 20 tahun ia memendam asa
untuk mengunjungi Darul Iman. Tahun 2012 impiannya jadi kenyataan. Ia
datang dari kampung halamannya di Kalimantan Timur mengantar puteranya
menjadi santri Darul Iman.
Malam kian merayap. Udara
dingin mulai terasa. Ruang sekretariat Penerimaan Santri Baru (PSB)
Darul Iman mulai sepi. Hanya ada tiga orang panitia sedang membereskan
berkas-berkas, diiringi lagu Maher Zain dari computer yang masih
menyala.
Seorang lelaki berusia separuh baya memasuki
ruangan. Tangannya menjinjing tas besar. Raut lelah tak tersembunyikan
dari mukanya meski ia mencoba tersenyum. “Assalamu’alaikum”, kalimat
salam terucap dari bibirnya. Seorang anak lelaki berusia 12 tahun
berdiri di sampingnya.
“Wa’alaikum Salam”, serempak ketiga
panitia itu menjawab salam, seraya memmpersilahkan lelaki berpeci itu
duduk. Mereka pun terlibat pembicaraan.
* * *
Ungkapan
Alhamdulillah diucapkan berkali-kali oleh Hamzah Zaini, pria separuh
baya itu. Senyum sumringahnya tak henti tersungging dari bibirnya.
Betapa tidak. Ia baru saja menempuh perjalanan dari Balikpapan
Kalimantan Timur menuju Kadupandak, sebuah kampong di pedesaan
Pandeglang.
Ia bersyukur bukan hanya karena telah sampai
di tempat tujuan, setelah melewati kemacetan panjang antara Bandara
Cengkareng – Pandeglang. Maklum, Ahad sore dan masih dalam musim liburan
sekolah. Cengkareng-Pandeglang ia tempuh selama hamper 9 jam. Setelah
sempat muter-muter di Jakarta, hingga berjalan kaki antara stasiun
Gambir hingga Monas akibat belum tahu rute. Tak cukup itu, ia pun
menikmati kemacetan dan ngetem-nya bis Asli Prima yang ia tumpangi dari
Kalideres ke Pandeglang.
Ia bersyukur dan sangat
berbahagia bisa menginjakkan kakinya di Darul Iman, pesantren yang ia
rindukan sejak tahun 1992. “Saya sangat bahagia bisa sampai ke Darul
Iman”, tuturnya lugas. “Ya, benar. Saya sangat bahagia”, ia mengulangi
kalimatnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tatapan mata yang
tajam menyapu setiap pojok ruangan.
Raut dan keriput
mukanya menandakan ia seorang yang telah banyak makan asam garam
kehidupan. “Menyekolahkan anak ke Darul Iman adalah obsesi saya sejak
1992”, tuturnya mengenang.
* * *
Ustad Hamzah Zaini
yang dikenal sebagai da’I di kota Balikpapan ini mengaku pertama kali
mengenal Darul Iman pada tahun 1992 melalui sebuah media cetak local.
Ia sangat tertarik dengan konsep Darul Iman sebagai Islamic Training
College. Lembaran Koran yang memberitakan Darul Iman itu pun ia simpan.
Seperti halnya ia menyimpan keinginannya untuk mengunjungi Darul Iman.
Saat
membaca koran itu, ia masih bujangan dan masih berstatus santri di
sebuah pondok di Sulawesi Selatan. Meski demikian, ia memohon kepada
Allah agar kalau nanti menikah dan memiliki anak, ia ingin ada salah
satu anaknya belajar di Darul Iman.
Doanya itu terus ia
panjatkan siang dan malam, hingga Allah berkenan mengabulkan harapannya.
Setelah 20 tahun berlalu, atau tepatnya Ahad 08 Juli 2012, ia berhasil
menginjakkan kakinya di Darul Iman, mengantar Muhammad Iqbal, putera
keduanya, untuk mendaftar sebagai santri Darul Iman. Subhanallah wal Hamdu Lillah.
* * *
Malam
itu, ia tak hanya datang membawa putera tercintanya, melainkan juga
membawa lembaran koran local terbitan 1992 yang memberitakan Darul Iman
itu. Lembaran koran yang telah nampak usang ditelan waktu. Tapi niat dan
kegigihan ustad Hamzah Zaini untuk menitipkan puteranya di Darul Iman
tak pernah usang.
Man Jadda Wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan.