Selasa, 10 Juli 2012

Rindu Darul Iman

Dua Puluh Tahun Memimpikan Darul Iman
 Ust Hamzah Zaini (berpeci) bersama puteranya Muh Iqbal, di Darul Iman


Pertama kali mengenal Darul Iman tahun 1992 melalui lembaran koran. Kala itu ia masih bujangan dan sedang mondok di Sulawesi. Selama 20 tahun ia memendam asa untuk mengunjungi Darul Iman. Tahun 2012 impiannya jadi kenyataan. Ia datang dari kampung halamannya di Kalimantan Timur  mengantar puteranya menjadi santri Darul Iman.

Malam kian merayap. Udara dingin mulai terasa. Ruang sekretariat Penerimaan Santri Baru (PSB) Darul Iman mulai sepi. Hanya ada tiga orang panitia sedang membereskan berkas-berkas, diiringi lagu Maher Zain dari computer yang masih menyala.

Seorang lelaki berusia separuh baya memasuki ruangan. Tangannya menjinjing tas besar. Raut lelah tak tersembunyikan dari mukanya meski ia mencoba tersenyum. “Assalamu’alaikum”, kalimat salam terucap dari bibirnya. Seorang anak lelaki berusia 12 tahun berdiri di sampingnya.

“Wa’alaikum Salam”, serempak ketiga panitia itu menjawab salam, seraya memmpersilahkan lelaki berpeci itu duduk. Mereka pun terlibat pembicaraan.

* * *
Ungkapan Alhamdulillah diucapkan berkali-kali oleh Hamzah Zaini, pria separuh baya itu. Senyum sumringahnya tak henti tersungging dari bibirnya. Betapa tidak. Ia baru saja menempuh perjalanan dari Balikpapan Kalimantan Timur menuju Kadupandak, sebuah kampong di pedesaan Pandeglang.

Ia bersyukur  bukan hanya karena telah sampai di tempat tujuan, setelah melewati kemacetan panjang antara Bandara Cengkareng – Pandeglang. Maklum, Ahad sore dan masih dalam musim liburan sekolah. Cengkareng-Pandeglang ia tempuh selama hamper 9 jam. Setelah sempat muter-muter di Jakarta, hingga berjalan kaki antara stasiun Gambir hingga Monas akibat belum tahu rute. Tak cukup itu, ia pun menikmati kemacetan dan ngetem-nya bis Asli Prima yang ia tumpangi dari Kalideres ke Pandeglang.

Ia bersyukur dan sangat berbahagia bisa menginjakkan kakinya di Darul Iman, pesantren yang ia rindukan sejak tahun 1992. “Saya sangat bahagia bisa sampai ke Darul Iman”, tuturnya lugas. “Ya, benar. Saya sangat bahagia”, ia mengulangi kalimatnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tatapan mata yang tajam menyapu setiap pojok ruangan.

Raut dan keriput mukanya menandakan ia seorang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. “Menyekolahkan anak ke Darul Iman adalah obsesi saya sejak 1992”, tuturnya mengenang.

* * *
Ustad Hamzah Zaini yang dikenal sebagai da’I di kota Balikpapan ini mengaku pertama kali mengenal Darul Iman  pada tahun 1992 melalui sebuah media cetak local. Ia sangat tertarik dengan konsep Darul Iman sebagai Islamic Training College. Lembaran Koran yang memberitakan Darul Iman itu pun ia simpan. Seperti halnya ia menyimpan keinginannya untuk mengunjungi Darul Iman.

Saat membaca koran itu, ia masih bujangan dan masih berstatus santri di sebuah pondok di Sulawesi Selatan. Meski demikian, ia memohon kepada Allah agar kalau nanti menikah dan memiliki anak, ia ingin ada salah satu anaknya belajar di Darul Iman.

Doanya itu terus ia panjatkan siang dan malam, hingga Allah berkenan mengabulkan harapannya. Setelah 20 tahun berlalu, atau tepatnya Ahad 08 Juli 2012, ia berhasil menginjakkan kakinya di Darul Iman, mengantar Muhammad Iqbal, putera keduanya, untuk mendaftar sebagai santri Darul Iman. Subhanallah wal Hamdu Lillah.

* * *  
Malam itu, ia tak hanya datang membawa putera tercintanya, melainkan juga membawa lembaran koran local terbitan 1992 yang memberitakan Darul Iman itu. Lembaran koran yang telah nampak usang ditelan waktu. Tapi niat dan kegigihan ustad Hamzah Zaini untuk menitipkan puteranya di Darul Iman tak pernah usang.  

Man Jadda Wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan.

Darul Iman, 10 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar